Perkebunan

Alasan Sawit Dicap Tanaman Perusak Lingkungan

Kita tentu masih familier dengan pernyataan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri di tahun 2020.

45

Kita tentu masih familier dengan pernyataan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri di tahun 2020. Saat itu, politisi PDIP ini menyebut tanaman kelapa sawit menjadi biang kerusakan lingkungan karena sifatnya yang dapat mengubah kandungan kesuburan tanah menjadi miskin hara. Akibat perkebunan sawit, fauna endemik menjadi punah karena tak ada lagi tempat berlindung.

Tak sampai disitu, kesuburan tanah dicap berkurang, lalu muncul bencana kekeringan, banjir dan longsor. Sejak saat itu isu kerusakan akibat tanaman sawit masif muncul di berbagai media massa. Terutama disampaikan oleh Non-Governmental Organization (NGO) yang mengaku sebagai penyelamat lingkungan.

Berbagai alasan dibuat agar citra perkebunan sawit menjadi jelek di mata dunia. Padahal sejatinya, tanaman yang memiliki nama latin Elaeis Guineensis Jack ini tidak semenakutkan seperti yang digembar-gemborkan. Berikut kabar miring apa saja yang pernah beredar tentang perkebunan kelapa sawit beserta faktanya.

1. Kebun Sawit Penyebab Bencana Kemarau dan Banji

Poin pertama ini sering digunakan kalangan NGO dengan menyebutkan perkebunan kelapa sawit menjadi biang kekeringan jika memasuki musim kemarau, atau penyebab banjir jika memasuki musim hujan. Untuk membuktikan tuduhan itu, kita bisa menggunakan metode perbandingan terhadap kebutuhan air (penelitian yang dilakukan Gerbens-Lennes) dari beberapa tanaman penghasil bioenergi. Hasil kesimpulannya adalah sebagai berikut:

  • Kelapa sawit - 75 kubik air
  • Kedelai - 100 kubik air
  • Ubi kayu - 118 kubik air
  • Rapeseed - 184 kubik air

Data diatas tentu tak jauh berbeda jika penelitian dilakukan pada tanaman yang tumbuh dan air hujan sebagai sumber utama energinya. Seperti yang dilakukan Coster pada 1938. Dari hasil penelitiannya, tingkat kebutuhan air tanaman sawit lebih rendah jika dibandingkan dengan karet, pinus, bambu, bahkan akasia. Kemudian berlanjut ke penelitian yang dilakukan Pasaribu et al pada 2012 dengan hasil persentase curah hujan yang dibutuhkan kelapa sawit untuk tumbuh dibandingkan mahoni dan pinus jauh lebih rendah.

Tak kalah pentingnya, kita harus tahu jika bencana kekeringan banjir merupakan bentuk perubahan iklim. Artinya, semua wilayah yang tidak ditanami sawit dapat mengalami kekeringan dan banjir. Seperti yang terjadi di sebagian Pulau Jawa yang notabene bukan daerah perkebunan kelapa sawit, namun wilayahnya juga dilanda bencana.

2. Tanah Menjadi Tandus Karena Sawit

Tuduhan sawit penyebab tanah menjadi tandus dan mengubahnya menjadi gurun kerap kita dengar di era 2000-an. Faktanya, tanaman ini justru dapat menjadi konservasi. Hal ini karena kandungan biomassa yang terkandung pada tanaman yang sudah berumur, membuat tanah disekitar pohon tetap terjaga. Apalagi bagian yang tak terpakai setelah buah sawit diolah seperti cangkang, tandan kosong (tankos), hingga lumpur dapat dijadikan sebagai pupuk organik bagi tanaman itu sendiri.

Paling penting, tak ada satupun tanaman di dunia ini yang diciptakan Tuhan untuk membuat tanah menjadi gersang atau tandus. Justru kebalikannya yakni tanaman dapat memperbaiki lingkungan yang terdegradasi, bahkan terhadap gurun sekalipun. Seperti yang terjadi di negara yang diselimuti padang gurun. Mereka sudah lama melakukan aksi penanaman dalam rangka penghijauan.

Bukti lain jika tanaman sawit tidak membuat tanah menjadi gurun tandus yakni masih eksisnya perkebunan sawit di era kolonial. Salah satunya milik perusahaan Harrison and Crossfield yang mulai beroperasi pada 1906 di Sumatera Utara. Kini perusahaan tersebut bernama PT PP London Sumatera Indonesia, Tbk atau Lonsum.

3. Sawit Biang Kerusakan Keragaman Hayati

Tuduhan tak mendasar berikutnya adalah sawit sebagai biang perusak keragaman hayati akibat pembukaan hutan. Faktanya, keberadaan perkebunan kelapa sawit terbukti meninggalkan jejak herpetofauna yang keberadaanya dibutuhkan dalam pasokan rantai makanan, seperti jenis reptil hingga amfibi. Bahkan menurut hasil penelitian, jumlah fauna tersebut juga tak kalah banyak dibandingkan dengan tutupan hutan ketika belum dijadikan perkebunan.

Sejatinya, Indonesia memiliki peraturan tentang klasifikasi hutan yang dapat dikonversi atau tidak, terkandung dalam UU 41/1999 tentang kehutanan. Menurut Data Indonesia, pada 2022 total luas kawasan hutan lindung 29,56 juta hektare, kawasan hutan produksi tetap sebesar 29,23 juta hektare, kawasan hutan konservasi dengan luas 27,41 juta hektare.

Lalu ada lagi hutan produksi terbatas 26,8 juta hektare, hingga hutan produksi yang dapat dikonversi mencapai 12,79 juta hektare. Proporsi yang terbilang tinggi tersebut dapat diartikan jika Indonesia masih memiliki stok hutan karbon tinggi yang dapat dijadikan sebagai habitat satwa, termasuk keragaman hayati.

4. Perkebunan Sawit Penyebab Kebakaran

Pemberitaan di tahun 2019 ramai-ramai menyudutkan perkebunan sawit sebagai biang kebakaran. Entah itu dengan alasan perluasan lahan atau disebabkan kelalaian. Padahal di tahun itu Global Forest Watch mengeluarkan data 68% kebakaran terjadi di luar wilayah konsesi, kebakaran di wilayah konsesi pulp 16% dan perkebunan sawit hanya 11%.

Bagi perkebunan sawit yang wilayahnya terdapat titik api, mereka juga tak mau lepas tangan. Dibuktikan dengan melakukan mitigasi hingga upaya pencegahan dengan banyak membentuk satuan tugas (Satgas) firefighter hingga membentuk Desa Peduli Api, membantu TNI, Polri, hingga BPBD setempat mencegah terjadinya kebakaran.

5. Perkebunan Sawit Penyebab Hutan Rusak

Sudah tak tepat lagi mengaitkan deforestasi dengan perkebunan kelapa sawit. Hal ini karena menurunnya angka pembukaan lahan kelapa sawit dengan cara deforestasi sejak 2015, diiringi komitmen bersama antara pemerintah dan swasta dalam rangka kebijakan tanpa deforestasi, eksploitasi dan tanpa gambut. Bahkan jika dilihat melalui citra satelit, angka deforestasi perkebunan sawit menurun tajam (2021). Bahkan angkanya sama dengan pembukaan lahan untuk kepentingan pulp.

Perkebunan sawit juga tak melulu dimiliki oleh perusahaan besar. Bahkan 40% diantaranya dimiliki rakyat (perkebunan rakyat) yang kebanyakan memulai usaha ini dengan menanam sawit di area yang sebelumnya sudah terdegradasi akibat logging. Hal ini terbukti perkebunan sawit bukan pemicu rusaknya hutan. Justru meningkatkan ekologi dan mengangkat ekonomi masyarakat.

Perlu kita sadari juga beredarnya kabar miring tentang perkebunan sawit merupakan bentuk penjegalan terhadap pertumbuhan industri sawit nasional. Serta terkait kebijakan Renewable Energy Directive/RED II/ ILUC Uni Eropa dalam rangka mengadang produk turunan kelapa sawit untuk bersaing dengan tanaman penghasil minyak nabati lain yang berasal dari bunga matahari (Amerika), kedelai (Amerika) bahkan rapeseed (Eropa) dalam rangka pemenuhan persyaratan biofuel di pasar Eropa.

Melalui kebijakan ini Uni Eropa mengklaim kelapa sawit merupakan tanaman high risk deforestasi. Sehingga mereka melakukan pembatasan, bahkan mau menghapus penggunaan minyak kelapa sawit untuk biodiesel pada 2030. Aksi ini kemudian dilawan dengan rencana Indonesia mengajukan gugatan ke World Trade Organization (WTO).

Dengan beberapa pembuktian diatas, kita sudah tahu jika perkebunan kelapa sawit bukanlah tanaman perusak hutan, penyebab kebakaran, merusak keragaman hayati, membuat tanah menjadi tandus, apalagi menjadi biang kemarau hingga banjir. Harapannya, artikel ini juga dapat menjadi dasar kita untuk melihat lebih jelas lagi tentang peranan industri perkebunan kelapa sawit.